oleh: Candra Malik

Jika boleh nyicil rasa lega, saya sudah lega dan merasa tidak perlu khawatir lagi dengan Muktamar Nahdlatul Ulama 2020. Memang, belum diputuskan kapan dan di mana akan diadakan perhelatan lima tahunan itu. Tapi, siapa saja nama-nama yang selayaknya dikandidatkan sebagai ketua umum sudah mulai diobrolkan di kalangan nahdliyin.

Tak baik, memang, mendahului kehendak Allah, apalagi mengadakan polling untuk menentukan nama pilihan “publik”. Terlebih, muktamar mempunyai sistem pemilihannya yang khas. Oleh karena itulah, saya tidak akan melanjutkan pembahasan. Saya ajak Sampeyan merawat harapan dan penasaran saja tentang siapa nakhoda NU berikutnya.

Baiklah, kita mengobrol tentang kiai-kiai muda NU saja. Suatu malam seusai menjadi penceramah dadakan di Masjid Menara Kudus, sekadar menanti kehadiran Habib Umar Muthahar dalam pengajian Buka Luwur Sunan Kudus 1441 Hijriyah, saya bergegas ke Demak untuk menghadiri pengajian Gus Muwaffiq. Tentu, saya sangat terlambat.

Tapi, sebagaimana karakter gus gondrong yang suka berpakaian serba-putih, berpeci hitam, dan berkalung surban hijau, ia suka menjadikan khazanah Islam Nusantara sebagai warna utama pengajiannya. Lebih dari itu, pun sebagaimana tradisi nadliyin, jamaah berebut bersalaman dengan gus yang tinggal di Yogyakarta itu. Dan, selfie.

Saya beruntung berkesempatan menerima potongan buah jeruk yang Gus Muwafiq belah, lalu sodorkan. Kebetulan, saya duduk di sampingnya, menghadap meja makan di ruang istirahat. Sebagai santri, itu bukan hanya cuwilan jeruk. Itu adalah sepotong keberkahan yang akan membesarkan hati saya, bahkan bisa jadi juga kepala saya.

Kiai-kiai muda NU tak hanya merupakan pendakwah yang membumi. Nama mereka pun naik daun, untuk tidak menyebutnya melangit. Gus Nadirsyah Hosen, misalnya. Selain bahwa akun Twitter yang dimilikinya sudah resmi diverifikasi dengan centang putih, guru besar ilmu hukum Universitas Monash, Melbourne, ini juga seleb sosmed.

Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU Australia dan Selandia Baru ini memang tak henti-hentinya diserang dari berbagai arah oleh warganet, tapi ia istiqamah membawa tema anti-khilafah ke mana-mana. Bukan hanya di dunia online dan on air, tapi juga di forum offline dan off air. Bukunya, Islam Yes, Khilafah No!, sudah berkali-kali cetak ulang.

Beda lagi dengan Gus Baha’. Kiai muda yang suka menyebut nama Rukin dan Mustafa ini juga dikenal suka bicara blak-blakan, seperti dua nama yang saya cuplik sedikit tadi. Kiai muda dari Rembang, yang gemar menarik peci hingga menonjolkan dahi, hingga keluar sedikit rambutnya ke depan, dan berkemeja putih, ini tidak kersa bersibuk dengan gawai.

Syahdan, ahli tafsir Al-Qur’an dan fikih yang bernama KH Ahmad Bahauddin Nursalim ini semula hanya berkenan untuk memberikan kajian agama di kediamannya dan kalangan terbatas saja. Perlu perjuangan yang panjang untuk mendapat izin menyebarkan pengajian via audio, lalu dengan visualnya. Syukurlah, video Gus Baha’ kini sudah leluasa diakses.

Umat Islam di Indonesia, tidak harus dari kalangan nahdliyin, memang mendapatkan pilihan yang beragam dari Nahdlatul Ulama untuk menentukan siapa idolanya. Terlebih, pada zaman keterbukaan, yang tidak cuma menyerempet kebebasan, melainkan telah menabraknya, ada saja pembicara publik yang justru menyebarkan ujaran kebencian.

Dari beraneka ciri khas, ada satu hal yang sama pada kiai-kiai muda NU, yaitu mereka bersiteguh menebarkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Bahkan, meskipun dikecam dengan stigma negatif, Gus Yahya Cholil Tsaquf tak surut langkah demi menggalang silaturahmi internasional. Setelah berkunjung ke Israel, ia baru-baru saja menemui Paus di Vatikan.

Namun, melanglang buana tak menjadikan Katib Aam PBNU itu berhenti menjadi kiai kampung. Misalnya, saya tidak percaya Gus Yahya akan hadir ke desa Srumbung, di pelosok Magelang, demi sebuah pengajian sederhana. Faktanya, ia datang dan bicara tentang betapa kebencian telah dijadikan energi besar oleh masyarakat dunia.

Gus Miftah lain lagi. Sejak lama dia sudah berjuang mendakwahkan Islam ke dunia malam yang remang di pusat-pusat hiburan malam maupun yang kerlap di bawah sorot infotainment. Namun, ini penting saya utarakan—meminjam gaya khas Gus Baha’—baliho-baliho pengajian Gus Miftah masih mudah ditemukan di desa-desa.

Suatu ketika, saya pernah bertanya padanya, bagaimana bisa ada dua pengajian di dua tempat yang berbeda, satu di ujung barat Solo dan lainnya di ujung timur Solo, dalam satu waktu yang sama. Gus Miftah ringan menjawab,”Saya sudah biasa begitu.” Sudah jadi rahasia umum betapa sulit menemukan pelaksanaan pengajian yang tepat waktu.

Entah itu lapangan sepakbola, night club, kafe, kampus, kampung, desa, masjid, atau majelis lainnya, kita mudah mendapatkan kiai-kiai NU memberi ceramah. Ada juga yang menggunakan live streaming di forum kajiannya yang terus-menerus berpindah lokasi. Gus Ulil Abshar Abdala, contohnya, yang kini rajin mengkaji Ihya’ Ulumuddin.

Perbendaharaan orang alim, dengan aneka keilmuannya, terus mengalami regenerasi yang baik di tubuh NU. Walaupun wafatnya seorang alim dapat dimaknai kematian alam, mautul ‘alim mautul alam, saya pribadi tidak khawatir untuk merasa masih bisa nyicil lega menyaksikan betapa siklus alam senantiasa “melahirkan” orang-orang alim berikutnya.

Kiai muda yang kalem namun tegas, seperti Gus Ishom dari Lampung dan Gus Abdul Ghofur Maimoen dari Sarang, putra mendiang Mbah Maimoen Zubair,  semakin mempertebal rasa lega saya, memperkaya pula keberagaman kiai NU. Kiai yang sarat humor pun ada, salah satunya adalah Kiai Anwar Zahid dari Bojonegoro. Lengkap.

Akhirul kalam, saya tidak hanya nyicil lega tidak khawatir kekurangan kandidat ketua umum Nahdlatul Ulama pada muktamar tahun depan. Lebih dari itu, saya juga tidak khawatir terhadap keindonesiaan kita. Para kiai yang saya sebut, juga banyak lainnya yang tak tersebutkan, berkomitmen penuh menjaga keutuhan dan kedamaian Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sumber: GeoTimes