Barangkali kita sering mendengar ada sebagian kelompok, atau orang orang tertentu mengaku bahwa kelompoknya sebagai kelompok ASWAJA (Ahlus Sunah Wal Jamaah). Pengakuan ini sah sah saja, siapapun boleh mengklaim bahwa kelompok mereka merupakan kelompok Aswaja yang benar, yang sesuai dengan tuntunan Nabi Saw dan para sahabatnya. Akan tetapi sebelum kita melangkah lebih jauh, perlu bagi kita untuk memahami Aswaja dari konteks yang relevan dan sesuai dengan kepahaman yang termaktub dalam turots Islam peninggalan para ulama salaf.

PERTAMA, pahami dulu akar kata Aswaja agar kepahaman kita terarah, dan tidak melantur kemana-mana. Aswaja itu adalah kependekan dari “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” yang secara etimologi (asal usul kata), terdiri dari 3 buah kata. Pertama, Ahl yang artinya: keluarga, golongan atau pengikut. Kedua, al-Sunnah yang berarti: segala sesuatu yang telah diajarkan Rasulullah saw. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi, baik ucapan (qaul), perbuatan (fi’il) maupun pengakuannya (taqrir) dikategorikan sebagai Sunnah Nabi. Ketiga, al-Jamaah yakni apa saja yang telah disepakati para sahabat Nabi pada masa Khulafaur Rasyidun (Khalifah Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali). Jadi, secara ringkas, Aswaja atau Ahlus Sunnah Wal Jamaah bisa didefinisikan sebagai golongan yang MENGIKUTI sunnah Nabi Muhammad saw dan MENGIKUTI kesepakatan para sahabat Nabi di masa khalifah empat di atas.

KEDUA, mengingat banyaknya kelompok lain diluar NU yang mengaku ngaku sebagai kelompok ASWAJA, sedangkan fakta di lapangan nampak sekali banyaknya perbedaan antara aksi-reaksi mereka dengan FIKROH, GERAKAN, dan AMALIYYAH orang NU, maka agar supaya tidak membingungkan warga awam nahdliyyin, maka dirumuskan lah KRITERIA KHUSUS ASWAJA ANNAHDIYAH atau boleh disebut ASWAJA versi NAHDLOTUL ULAMA pada Forum Muktamar Ke-33 NU di Jombang.

Inti dari hasil muktamar jombang yang dirumuskan lewat sidang komisi BAHSUL Masail Diniyyah diatas ialah 𝘁𝗲𝗿𝗹𝗲𝘁𝗮𝗸 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗸𝗲𝗸𝗵𝘂𝘀𝘂𝘀𝗮𝗻 𝗔𝘀𝘄𝗮𝗷𝗮, atau

Kriteria Khusus Aswaja AN-NAHDIYYAH dimaksud, dapat -penulis- simpulkan sebagai berikut :

1. Menjadikan Al Qur’an dan Hadist sebagai sumber pokok syariat Islam, dan menerapkan 2 sumber lain yang lahir dari keduanya, yakni Ijma dan Qiyas.

2. Dalam memahami Al Qur’an dan hadist Nabi Saw untuk rujukan hukum haruslah melalui LANDASAN SANAD dari para SAHABAT NABI SAW, dan 2 generasi setelahnya, yaitu sanad dari tabiin, dan tabi tabiin.

Jadi bagi siapapun yang berusaha mentafsiri Al Quran dan hadist, atau berupaya mengambil keduanya sebagai rujukan hukum tidak diperbolehkan asal comot, asal ngambil, dan asal menerapkan begitu saja, tanpa terlebih dahulu merujuk pada sanad yang valid dari (1)- Sahabat, (2)- tabiin, dan (3)- tabi tabiin.

3. Dalam memahami Al Qur’an dan hadist harus menyeluruh, tidak boleh setengah setengah, dan harus melalui metode pendekatan kaidah ijtihad yang benar, seperti penggunaan ILMU USHUL dan kaidah Ushul yang sudah teruji keabsahannya, ketepatan penggunaan sistematika gramatika Arab dan ilmu ilmu pendukungnya, dan juga bermacam varian lain yang telah ditetapkan sebagai pisau analisa bedah hukum berdasarkan cara ber- ijtihad yang baku.

4. Untuk mengambil hukum dari Nash Al Qur’an atau hadist Nabi Saw tidak diboleh terjadi kontradiksi, yaitu mu’arodhoh atau pertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya, maka agar lebih aman dari kesalahan, dan memudahkan umat, maka dipakailah HASIL RUMUSAN ijtihad dari ULAMA MUJTAHID YANG SUDAH TERUJI KOMPETENSINYA, sebut saja :

=] Dalam fiqh, mengikuti Empat mujtahid besar, yaitu; a. Imam Abu Hanifah An-Nu’man ibn Tsabit (80-150 H.), b. Imam Malik ibn Anas (93-173 H.), c. Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i (150-204 H.), dan Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241).

=] Dalam aqidah mengikuti para Imam madzhab aqidah, seperti Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324), dan Abu Mansur Al-Maturidi (W.333 H.).

=] Dalam Tasawwuf mengikuti Imam Abul Qasim Al-Junaid al-Baghdadi (W.297H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H.).

4. Melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (komprehensif), dan tidak mengabaikan sebagian yang lain.

Maksudnya, kita tidak diperbolehkan mengambil syariat sekarep WUDEL E DEWEK, mengambil yang enak enaknya saja, sedang yang sulit sulit di buang. Atau barangkali bisa diibaratkan seperti kelakuan BANI ISROIL zaman dahulu yang mengambil sebagian syariat nabinya, dan meninggalkan syariat lainnya.

5. Menghormati perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, dan tidak mengklaim bahwa hanya pendapatnya saja yang benar, sedangkan pendapat lain dianggap salah.

6. Bersatu dan tolong menolong dalam berpegang teguh pada syari’at Islam meskipun dengan cara masing-masing.

7. Melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dengan hikmah (bijak/arif), dan tanpa tindak kekerasan dan paksaan.

Pada poin ini agaknya sangat jelas bagi kita untuk menilai kelompok mana yang sering menggunakan cara cara ekstrim, keras, dan kaku dalam beragama.

Konsep ini pada dasarnya merupakan TITIK TEKAN CARA ROSULULLAH dalam berdakwah, yaitu mendahulukan kelembutan, dan baru menggunakan kekerasan bilamana terdesak atau diserang.

Rosulullah Saw digambarkan dalam Al Qur’an sebagai sosok yang lemah lembut dalam berdakwah sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imron ayat 159 :

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”.

8. Mengakui keadilan dan keutamaan para shahabat, serta menghormatinya, dan menolak keras menghina, mencerca dan sebagainya terhadap mereka, apalagi menuduh kafir.

9. Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi SAW. adalah ma’shum (terjaga) dari kesalahan dan dosa.

Poin ini sekaligus menjadi bantahan bagi mereka yang suka menuduh ulama NU sebagai kelompok Syiah, dimana kita ketahui bahwa sebagian dari teologi Syiah ialah TIDAK MENGAKUI KEABHSAHAN Kholifah Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sedangkan ulama kita mengakui semua Kholifah yang empat. Oleh sebab itu, NU bukanlah Syiah, dan Syiah bukanlah NU.

10. Tidak menuduh kafir terhadap sesama mukmin, dan menghindari berbagai hal yang dapat menimbulkan permusuhan.

Pada poin inilah sesungguhnya pembeda antara gerakan Nahdlotul Ulama yang santun dan hati hati dengan kelompok Takfiri yang saat ini mereka gencar MENGKAFIRKAN, MEMBIDAHKAN AMALIYYAH nahdlotul Ulama seperti tahlilan, ziarah qubur, manaqiban, sholawatan, tawasulan, dan lain sebagainya. Padahal Nabi Saw bersabda :

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104).

Dalam penjelasan hadist ini dikatakan apabila kalimat kafir itu tidak terbukti, maka kalimat tersebut akan kembali kepada SI PENUDUH.

11. Menjaga ukhuwwah terhadap sesama mukmin, saling tolong menolong, menyayangi, menghormati, dan tidak saling memusuhi.

12. Menghormati, menghargai, tolong menolong, dan tidak memusuhi pemeluk agama lain.

Kriteria pada poin 11 dan 12 merupakan INTISARI dari ayat ayat Al Qur’an dan juga hadist Nabi Saw.

Inilah KRITERIA KHUSUS Aswaja Annahdiyah dengan mereka yang mengklaim diri mereka sebagai Aswaja pula. Pada akhirnya kebenaran MUTLAK HANYA MILIK DZAT YANG MAHA TUNGGAL.

والله اعلم بالصواب

Abdullah Zaini, S.Sy
Ketua Aswaja NU Center Kab. Subang